Seringkali
ketika memberitakan suatu kasus tentang dunia pendidikan, media masa selalu
menyoroti perihal kesenjangan antara guru dan siswa. Dalam
pembukaannya, presenter sebuah stasiun TV biasanya mengatakan, ”dunia
pendidikan kembali tercoreng…”. Kalimat pembuka yang justru menyayat hati
para pendengarnya. Seolah – olah sistem pendidikan di Indonesia tidak pernah
beres. Dalam pemberitaannya, kasus yang terjadi paling tidak ada dua
kemungkinan. Yang pertama, guru sebagai sosok antagonis, dan siswa
sebagai protagonis. Yang kedua, guru sebagai protagonis, dan siswa
sebagai antagonis. Terlepas dari siapa sesungguhnya protagonis dan antagonis,
tentu kita mesti merenung mengapa kedua sosok ini harus berperan menjadi tokoh
yang berbeda. Tidakkah seyogyanya kedua sosok ini, guru dan siswa
menjadi peran yang protagonis dan menjalin hubungan mutualisme.
Para ahli
pendidikan yang bernaung di bawah pemerintahan, akan berpendapat bahwa semua ini
adalah faktor kesenjangan antara guru dan siswa. Dimana siswa merasa sebagai
warga yang harus dipenuhi kebutuhan pendidikannya sehingga harus dilayani dan
keinginannya harus dipenuhi. Sementara guru adalah perangkat pemerintah yang
bertugas mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang ditugaskan. Kemudian,
ketika siswa merasa keinginannya tak bisa terpenuhi, guru menjadi bulan –
bulanan. Inilah realita kehidupan pendidikan yang dialami oleh banyak guru.
Dilain pihak, guru juga memiliki hak – hak kemanusiaan yang tak pernah
mendapatkan realisasi. Tuntutan yang diberikan banyak, tetapi hak yang harusnya
mereka dapatkan terkesan memberatkan. Ketika mereka mencoba menuntut hak,
berbagai macam tuduhan miring justru dilontarkan.
Lalu
bagaimana sebenarnya kedudukan guru dan siswa dalam pembelajaran? Syarat utama
pembelajaran itu tercipta adalah adanya guru, siswa, sarana belajar, dan memiliki
kurikulum pembelajaran. Hakikatnya, bila tidak ada salah satunya tidak ada,
maka belajar itu tidak akan tercipta. Ketika berbicara tentang adab, maka
jawabannya jelas guru adalah sosok yang sepatutnya dimuliakan, dan siswa
sebagai pribadi yang berangkat dari ketidaktahuan dan membutuhkan seorang guru
untuk menyembuhkan kebodohannya memiliki kewajiban untuk memuliakan guru. Bila
diperhatikan lebih seksama, teori ini justru hanya berlaku pada kehidupan
pesantren. Apabila seorang santri tidak menaruh rasa hormat kepada seorang
ustadz atau tuan gurunya, maka ilmunya tak akan pernah meraih keberkahan. Sebagai
contoh misalnya, dalam kitab ta’lim muta’allim, kitab rujukan kaum santri dalam
menuntut ilmu dikatakan.
اعلم
أن طالب العلم لا ينال العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله,وتعظيم الأستاذ
وتوقيره
“Ketahuilah, bahwa penuntut ilmu tidak
akan bisa mencapai (kemanfaatan) ilmu, kecuali dengan bersikap takzim kepada
ilmu dan ahlinya, takzim kepada ustadz dan kerabatnya”
Takzim
adalah sikap memuliakan karena guru adalah sosok yang memiliki ilmu dan
menuntun kepada kebaikan. Takzim bukan berarti mengkultuskan. Karena dalam
praktiknya sikap takzim banyak ditafsirkan sebagai sikap mengkultuskan atau
menganggap guru memiliki derajat kenabian. Ini jelas salah. Takzim adalah sikap
yang wajib dimiliki oleh seorang siswa, tanpa diminta oleh guru dan guru juga
tidak boleh memintanya.
Ada dua
realita yang kerap terjadi.
1.
Guru mendapat perlakuan tak pantas dari siswa
Pendidikan
pada zaman dulu, menyerahkan kepercayaan sepenuhnya kepada seorang guru. Orang
tua percaya bahwa guru merupakan tenaga profesional yang lebih mengerti cara
menanamkan ilmu sebagai bekal anak di masa mendatang. Apabila anak mendapatkan
hukuman karena kesalahan, orang tua tidak keberatan. Bahkan kadang, orang tua
justru ikut memberikan hukuman tambahan kepada si anak, misalnya dengan
memarahi atau menasehati. Kurang lebih seperti itulah gambaran umum pendidikan
di zaman dahulu. Zaman berkembang, sistem pendidikan diotak-atik, sekarang
orang tua turut memberikan intervensi terhadap pola pendidikan nasional atau
yang sedang dicanangkan oleh sekolah. Sayangnya, keegoisan dan tanpa pandang
baik dan buruknya membuat guru seolah sebagai pelayan yang wajar bila dibentak
dan tak mengapa bila disuruh – suruh. Para orang tua yang “terlalu” memanjakan
anaknya seakan memaksakan model pendidikan atau pola pengajaran mestinya yang
sesuai dengan kehendak anak – anak mereka. Bahkan kerapkali seorang guru harus
berurusan dengan polisi ketika cara seorang guru mendidik anak mereka tidak
diterima. Saya berikan beberapa contoh kasus.
a.
Guru SD yang diadili hanya karena menghukum
siswanya dengan penggaris
Pada
Juli 2010, Rahman, seorang guru di sebuah SD di Banyuwangi, Jawa Timur, harus
berurusan dengan pengadilan setelah memukul anak didiknya menggunakan
penggaris.
Kejadian bermula ketika Rahman melihat siswinya menangis setelah dipukul dan ditendang oleh temannya. Ternyata yang mengalami hal tersebut ada juga 3 siswi lainnya.
Kejadian bermula ketika Rahman melihat siswinya menangis setelah dipukul dan ditendang oleh temannya. Ternyata yang mengalami hal tersebut ada juga 3 siswi lainnya.
Lantas
Rahman memanggil siswa yang melakukan hal tersebut dan meminta berdiri di depan
kelas. Setelah ditanya, siswa tersebut mengakui perbuatannya.
Berniat menghukum siswa itu, Rahman lalu memukul kaki siswa tersebut dengan penggaris. Pulang sekolah, si siswa itu melapor ke ibunya dan ibunya tidak terima. Atas hal ini, pihak keluarga melaporkan kasus ini ke polisi. Jaksa lalu mendakwa Rahman dengan UU Perlindungan Anak. Dengan bukti-bukti yang ada, jaksa menuntut Rahman untuk dipenjara selama 5 bulan.
Berniat menghukum siswa itu, Rahman lalu memukul kaki siswa tersebut dengan penggaris. Pulang sekolah, si siswa itu melapor ke ibunya dan ibunya tidak terima. Atas hal ini, pihak keluarga melaporkan kasus ini ke polisi. Jaksa lalu mendakwa Rahman dengan UU Perlindungan Anak. Dengan bukti-bukti yang ada, jaksa menuntut Rahman untuk dipenjara selama 5 bulan.
Tapi
beruntung bagi Rahman, majelis hakim berpendapat lain. Menurut majelis hakim,
pemberian sanksi berupa pemukulan pada betis kanan dan kiri bagian belakang
dengan menggunakan penggaris kayu masih sesuai dengan kaedah pendidikan.
Setelah dipertimbangkan, majelis hakim memutuskan untuk membebaskan sang guru.
Sebelumnya
pihak sekolah juga sudah berusaha mempertemukan masalah ini lewat jalur
mediasi. Dalam pertemuan itu, Rahman telah meminta maaf kepada keluarga siswa
tersebut tapi keluarga siswa memilih mengambil langkah hukum.
b.
Guru diadili karena mencukur rambut siswanya
Aop
Saopudin, seorang guru honorer SDN Penjalin Kidul V, Majalengka, Jawa Barat
harus berurusan dengan hukum hanya gara-gara mencukur rambut murid didiknya.
Kejadian
konyol ini terjadi pada Maret 2012. Saat itu, Aop Saopudin melakukan razia
rambut gondrong. Dalam razia itu, didapati 4 siswa yang berambut gondrong yaitu
AN, M, MR dan THS. Aop lalu melakukan tindakan disiplin dengan memotong rambut
THS ala kadarnya sehingga gundul tidak beraturan.
Sepulang
sekolah, THS menceritakan hukumannya itu ke orangtuanya, Iwan Himawan. Atas
laporan itu, Iwan tidak terima dan mendatangi sekolah. Iwan marah-marah dan
mengancam balik Aop. Gilanya lagi, Iwan mencukur balik rambut sang guru sebagai
tindakan balasan.
Namun
tak puas sampai disitu saja, Iwan juga melaporkan Aop ke pihak berwajib. Guru
honorer itu pun dikenakan pasal berlapis yaitu tentan Perlindungan Anak dan
tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Atas tuntutan itu, pengadilan negeri
akhirnya menjatuhkan hukuman percobaan. Yaitu dalam waktu 6 bulan setelah vonis
jika tidak mengulangi perbuatan pidana, maka tidak dipenjara. Tapi jika berbuat
pidana, maka langsung dipenjara selama 3 bulan.
Namun
beruntung bagi sang guru. Setelah mengajukan kasasi, Mahkamah Agung membebaskan
Aop dari semua dakwaan dan menyatakan apa yang dilakukan Aop tidak melanggar
hukum apa pun.
Tiga
hakim agung yaitu Salman Luthan, Syarifuddin, dan Margono menyatakan Aop
sebagai guru mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah
gondrong.
Apa
yang dilakukan Aop sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak
pidana. Oleh karena itu, Aop tidak dapat dijatuhi pidana karena bertujuan untuk
mendidik.
c.
Guru harus mendekam dipenjara gara-gara mencubit muridnya
Nurmayani
Guru biologi SMPN 1 Bantaeng, Sulawesi Selatan, dipenjara karena mencubit murid
didiknya. Kejadian ini bermula saat Agustus 2015 silam, Nurmayani memanggil dua
orang siswi bernama Tiara dan Virgin ke ruangan Bimbingan Konseling karena
bermain air sisa pel lantai.
Saat
berada di ruang BK, Nurmayani langsung menghukum keduanya. Ia lantas mencubit
kedua paha Tiara. Namun Tiara mengaku guru biologi itu tak hanya mencubit,
tetapi juga memukul dada dan pipi Tiara. Nurmayani juga menyebut Tiara sebagai
anak setan.
Tak
terima dengan hukuman sang guru, Tiara pun mengadu kepada ayahnya yang
merupakan anggota polisi. Akhirnya ayah Tiara, Ipda Irwan Efendi
melaporkan perbuatan Nurmayani kepada Polres Bantaeng.
Pihak
Kepolisian awalnya sudah mengupayakan mediasi namun keduanya menolak dengan
cara damai sehingga kasus ini dilanjutkan sampai ke jaksa. Sang guru akhirnya
menjadi tahanan titipan Kejaksaan Negeri Bantaeng di rutan sejak Kamis (12/5),
sambil menunggu kasusnya disidangkan di pengadilan.
2.
Guru melakukan tindakan tak pantas kepada siswa
Tidak sedikit juga guru menyalahgunakan makna
takzim yang dilakukan oleh siswa. Kewajiban siswa untuk memuliakan guru
dijadikan sebagai modus untuk mencelakai murid yang tak berdaya. Ini dilakukan
oleh oknum – oknum guru yang sebenarnya tak pantas disebut sebagai guru.
Diantara kasus yang seringkali mencuat adalah kasus pencabulan yang melibatkan
guru dan siswa sebagai korbannya, pengedaran narkoba, minum – minuman keras
hingga kasus pemerasan.
Dibalik
dua kasus yang kerap muncul menciderai dunia pendidikan, tentu ada yang harus
diperbaiki supaya kedepannya tak lagi muncul pertikaian yang melibatkan guru
dan siswa. Kesadaran para guru akan tugas dan tanggung jawabnya, orang tua
siswa, dan siswa itu sendiri, serta peran institusi pemerintahan terkait tentu
menjadi suatu ikatan yang tak boleh saling memisahkan atau berdiri sendiri. Pijakannya
harus sama yaitu bertujuan untuk memajukan dunia pendidikan, dan melahirkan
generasi penerus bangsa yang peduli dan memajukan bangsa.