Oleh : Ilham
Karbela
Sedang asyiknya
bercanda, ssalah seorang santri Nurul Islam Sekarbela tiba – tiba saja
berteriak, “ada ustadz.. !! Ayo masuk masjid !! “. Sontak saja santri yang
sedari tadi duduk – duduk diteras masjid terburu-buru masuk masjid. Serorang
ustadz yang penuh wibawa datang untuk memimpin sholat ashar berjamaah di pondok
pesantren tersebut.
Keadaan seperti
itu bukannya membuat para santri ketakutan, justru disanalah letak kenikmatan
menjadi santri di pondok pesantren. Sebagai ustadz tentu saja akan terus memberikan
motivasi untuk selalu melakukan takzim kepada ustadz manapun. Kebahagiaan
menjadi ustadz adalah ketika para santri binaannya menjadi anak – anak didik
yang bisa diandalkan untuk melanjutkan estapet pendidikan. Terlebih bila ada
salah seorang santri yang bisa menjadi asisten pengajar ketika ustadz
berhalangan hadir mengajar. Dan bagi santri yang terpilih tentu akan menjadi
sebuah kebanggaan tersendiri. Pada kebiasaanya, siklus perekrutan dalam dunia kepondokan
adalah memang seperti itu. Bagi orang – orang yang memiliki jiwa pengabdian
kepada ilmu agama, aktifitas mengajar dianggap sebagai bentuk amal ibadah yang profit
pahalanya sangatlah banyak. Tempat pengajian tak ubahnya seperti taman – taman
ilmu yang keindahannya mengalahkan taman – taman yang tertata rapi di
perkotaan.
Kata “ustadz”
biasanya digunakan oleh kalangan pondok pesantren atau lembaga pendidikan yang
bernaung di bawahnya. Ustadz adalah sebutan untuk orang yang memberikan
pembinaan keilmuan yang dalam istilah pendidikan diluar kemenag disebut dengan
guru. Ini hanyalah masalah penyebutan nama atau gelar yang disandang oleh para
pendidik. Meskipun secara literasi bermakna sama untuk tugas mengajarkan suatu
ilmu, namun tampaknya muatan beban moral yang harus diemban oleh seorang ustadz
lebih berat daripada seorang yang biasa dipanggil Pak atau Ibu guru. Tulisan
saya kali ini tidak bermaksud untuk menakut – nakuti seseorang akan beratnya
profesi ustadz ini, akan tetapi semata – mata berniat untuk mengingatkan
kembali bahwa banyak poin – poin kode etik ustadz yang tak boleh dilanggar.
Meskipun kerap dengan sengaja dilanggar.
Ustadz
itu seharusnya….
Secara bahasa
ustadz bermakna pendidik. Istilah yang populer untuk kata ustadz ini adalah
orang yang mengajarkan ilmu agama baik di pengajian khusus atau umum. Seorang
ustadz hendaknya memiliki bekal ilmu agama yang mumpuni. Biasanya harus
memiliki riwayat belajar di sebuah pondok pesantren, atau minimal memiliki
pembina (murobbi) yang mengajar secara khusus untuknya. Intinya seorang ustadz
ketika ditanya tentang suatu permasalahan agama mesti mampu menjawab atau
memberikan solusi cerdas lengkap dengan dalil dari alqur’an hadits dan kutipan
– kutipan pendapat para ulama. Ini dari sisi kemapanan ilmu. Sebagai orang yang
bergerak dalam bidang agama, seorang ustadz juga merupakan warotsatul
anbiya’ atau pewaris para nabi. Nabi diutus untuk memperbaiki akhlak
manusia yang bobrok. Melalui metode keteladanan, banyak para penentang yang
akhirnya masuk islam dengan berbondong – bondong. Ustadz juga harusnya memiliki
rating keteladanan yang baik. Sebab para pembelajar menjadikannya sebagai
panutan utama, terlebih karena diketahui memiliki bobot ilmu agama yang cukup.
Sering kali ketika seorang ustadz melakukan kekhilafan yang manusia, nama
baiknya langsung rusak seketika. Menjadi buah bibir masyarakat, hingga
pencopotan gelar Al-Mukarrom Al-Ustadz. Oleh karena itu, seorang ustadz
tidak hanya berkewajiban menjaga derajat keilmuannya, tetapi juga wajib menjaga
rating akhlaknya sebagai panutan. Seroang guru pun juga memiliki kewajiban yang
sama, namun sering terabaikan hingga sisanya sekarang guru hanyalah nama untuk
sebuah pekerjaan. Dari sini sebenarnya sudah terbayang bahwa menjadi ustadz itu
tidaklah mudah. Dan memang tidak boleh mudah. Sebab, harus ada tahapan atau
level yang mestinya harus dilewati oleh siapapun yang menggeluti bidang islam.
Sama halnya dengan bekerja sebagai guru pada lembaga pendidikan. Ketika
seseorang mengajukan lamaran pekerjaan sebagai guru kepada intansi terkait,
berkas pertama yang akan diperiksa adalah apakah sudah menamatkan strata satu
(S1) atau belum. Strata satu atau S1 diperoleh melalui jenjang perkuliahan
dengan minimal waktu kuliah adalah 3,5 tahun. Kita tidak akan bisa menjadi
seorang mahasiswa bila belum melewati jenjang – jenjang pendidikan sebelumnya.
Apakah ribet menjadi seorang guru ? Sayangnya memang begitulah tahapan
wajibnya. Bagaimana dengan menjadi seorang ustadz ? Sesungguhnya ustadz
bukanlah gelar yang dapat diperoleh dari jenjang formal. Panggilan ustadz
adalah panggilan dari masyarakat banyak. Artinya ini adalah tuntutan dari
ummat, bukan tuntutan dari kantong keramat. Kita patut tertawa apabila ada
seseorang yang mengaku dirinya sebagai ustadz. Karena pengakuan itu datangnya
dari ummat bukan dari diri sendiri. Memang begitulah seharusnya ustadz.
Semua
tergantung niat di awal…
Hati saya
sedikit tergelitik ketika menyimak paparan ustadz Zulkifli, M.H.I ( kepala MTs
Nurul Islam Sekarbela ) tentang macam – macam ustadz. Beliau menjelaskan bahwa
ustadz itu ada dua macam. Ada ustadz kota, dan ada pula ustadz kampung. Bagaimana
detilnya ? Menurutnya, ada perbedaan proses memperoleh panggilan ustadz di
daerah perkotaan dan perkampungan. Lebih lanjut, ustadz Zulkifli menjelaskan,
di kota cukup dengan memiliki kecakapan berorasi ditambal dengan beberapa
atribut anak sholeh maka dengan mudah bisa memperoleh panggilan ustadz,
meskipun ilmu agamanya hanyalah secuil. Sedangkan di kampung, untuk mendapat
panggila ustadz butuh proses yang lama. Hal ini dikarenakan seorang ustadz di
kampung harus memiliki banyak bekal ilmu hingga pantas dipanggil ustadz. Mulai
dari ilmu alat seperti ilmu lughoh (nahwu, balaghoh, mantiq, dsbg) hingga ilmu
tentang tasawuf atau tauhid.
Faktanya
menjadi seorang penceramah yang bergelar ustadz di kota adalah profesi yang
sangat menjanjikan. Layaknya seorang penyanyi, meskpun isi kalimatnya kurang
begitu berbobot asalkan bisa sedikit melucu, terlebih jika ustadznya berparas
manis, jamaah perempuan pun yang penting bisa senang. Namun semua kembali kepada
niat asal. Hanya saja sangat disayangkan ketika masyarakat harus dicerdaskan
akalnya, dan ditenangkan batinnya malah harus resah, gelisah, dan ketakutan. Berita
kekinian mengabarkan adanya sejumlah kasus yang menimpa orang – orang yang
telah dipatenkan menjadi penyejuk hati dan penemu solusi. Kasus yang menimpa
merekapun cukup mengiris hati. Ada yang kasusnya pelecehan seksual, penipuan
berkedok penggandaan uang, hingga pada kasus pembunuhan. Apa yang membuat iris?
Tentu saja karena mereka mengaku seorang muslim taat yang merusak nama besar
islam. Maka alangkah benarnya sabda baginda Nabi tersebut tentang niat. “
Segala sesuatunya tergantung kepada niat “ ( Al-Hadits). Awalnya menjanjikan
janji manis, ketika telah terperangkap jadilah santapan yang manis. Ketika
sudah terendus oleh aparat barulah mulai menangis. Seakan – akan dia adalah
tokoh agama yang sedang diuji oleh Tuhan yang Maha Agung.