2.
Berpenampilan yang islami
انظر
ماقال ولا تنظرمن قال
“Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat
siapa yang mengatakan”
Ungkapan ulama di atas sangat membekas di hati
para santri. Tujuannya adalah supaya jangan sampai kita memandang sebelah mata
kalimat mutiara yang datang dari mulut siapapun. Sekalipun datang dari mulut preman,
asalkan bermuatan iman, tak akan jadi masalah. Tentu saja ini bukan sesuatu
yang salah. Namun, kerap kali kalimat tersebut justru dijadikan tameng untuk
berpenampilan “gaya – gayaan” yang menurutnya harus mengikuti trend masa
kini. Bagaimana hubungannya? Ungkapan di atas ditafsirkan bahwa pakaian
bukanlah menjadi rujukan utama seseorang itu patut kita dengarkan atau
tidaknya. Banyak orang yang berpakaian bak ulama tetapi kalimat yang keluar
dari mulutnya berbau busuk, bahkan tak jarang berakhlak bejat. Disisi lain, tak
sedikit orang yang berpenampilan bak preman, tetapi kalimat yang keluar dari
lisannya adalah kalimat mutiara iman. Tak jarang sikap yang ditunjukkan adalah
seperti seorang kesatria. Ini adalah fakta yang kemudian dijadikan tameng untuk
berbusana bebas. Nah, disinilah letak kesalahan fatalnya. Cara berpakaian
bukanlah penyesuaian antara pemikiran dan perilaku. Pakaian itu menunjukkan
identitas. Rasulullah SAW telah mengajarkan ummat islam tentang bagaimana cara
berpakaian yang sesuai dengan syariat islam bagi laki – laki dan perempuan. Sedikitnya
harus memuat dua hal. Pertama, tidak menampakkan aurat. Kedua,
tidak melakukan Tasyabbuh’alal kuffar. Maka ketika masyarakat risih dengan
sekelompok anak – anak muda berpakaian bak preman gaul, kemudian ceramah
agama di teras – teras warung, bukan masalah ceramahnya, tetapi lebih karena
tasyabbuh ‘ala kuffar. “Ah yang
penting kan hati kita baik” Begitulah dalil mereka. Akhirnya banyak para
santri yang ketika keluar dari pondok pesantren, tidak lagi mengenakan peci.
Rambutnya pun warna – warni. Yang santriwati tak lagi mengenakan jilbab dengan
alasan yang penting tidak maksiat. Ada yang masih mengenakan jilbab, tapi
pakaian dan celananya memperlihatkan lekuk tubuhnya. Fenomena salah kaprah ini
tentu harus diluruskan. Sebab, pakaian adalah menunjukkan identitas. Kenapa
mesti islami? Karena dengan islami orang akan mengetahui bahwa ternyata islam
juga mengatur cara berpakaian yang baik. Tentu standarnya adalah menutup aurat
dan tidak melakukan tasyabbuh ‘ala kuffar (menyerupai orang – orang kafir).
Bila menganggap diri santri, tetapi rambut disemir warna – warni, itu bukanlah
identitas santri. Justru mengarah kepada tasyabbuh ‘alal kuffar.