Diantara ciri ilmu yang berkah adalah ilmu yang
bermanfaat untuk khalayak. Selama bertahun – tahun santri berkutat dengan kitab
– kitab. Ketika berada di pondok, potensinya terus digali, keterampilannya
ditingkatkan. Ketika waktunya telah tiba, datanglah dia di tengah masyakat
sebagai pribadi yang bermanfaat. Ustadz H. Fahrurrozi, Lc., M.Sy berujar, “jadilah
santri yang bisa mengurangi beban masyarakat. Apabila tidak bisa, paling tidak
jangan menjadi beban masyakarat.” Pada kenyatannya adalah orang tua secara
mati – matian menyekolahkan anaknya supaya kelak bisa berguna bagi masyarakat. Demikian
pula halnya, para orang tua yang memasukkan anaknya dalam pola pendidikan
kepondokan. Tujuannya bahkan berganda. Selain untuk berguna bagi ummat,
diharapkan juga anaknya memiliki akhlak mulia yang memuliakan orang – orang
disekitarnya. Kita bersyukur memiliki para ustadz hebat yang lahir dari rahim
universitas islam kenamaan. Tetapi kita juga patut prihatin, menyaksikan para
intelektual yang membawa bendera islam, namun ternyata merobeknya setelah mendapatkan
asupan gizi dari kaum liberal.
Ciri utama santri adalah berilmu luas. Pengertian luas
bukan berarti harus tahu segalanya. Sehingga nanti yang terjadi bukan maha
tahu, malah sok tahu. Berilmu luas yang dimaksud disinilah adalah memiliki
pandangan dan cakrawala yang tidak sempit, tidak memandang segala sesuatu dari
sudut pandangan yang monoton. Sehingga diharapkan ketika santri dihadapkan
dengan suatu permasalahan agama, tidak langsung melakukan justifikasi sesat
atau pembenaran buta. Harus ditimbang dulu dari segi keilmuan beragama yang ia
miliki. Dewasa ini sering kali terjadi benturan pemikiran hanya dikarena
menggunakan metode yang salah dalam memutuskan suatu perkara. Bukannya
mengajarkan ummat untuk mencintai perdamaian, sekelompok intelektual justru
membuat ummat berfikir bahwa ulama hanya pandai berdebat. Di satu sisi, derajat
kemapanan ilmu yang diberikan suatu lembaga pendidikan tertentu justru
dimanfaatkan untuk mengelabui masyarakat demi pemenuhan asap dapur. Begitulah
fenomena ironi yang sedang menghantui dunia pendidikan islam saat ini.
Santri yang hebat adalah santri yang mampu
mengintegrasikan muatan ilmunya dengan panggilan hati nuraninya. Masyarakat
berharap tidak ada lagi santri kacangan. Setelah menjadi ustadz
terkenal, berpenghasilan banyak, kemudian membuang atribut islam yang selama
ini telah membungkusnya dengan aman. Kehebatan santri bukan terletak pada
kemampuannya mengalahkan semua lawan debatnya, tetapi terletak pada bagaimana
dia membangun persaudaraan di tengah perang pemikiran yang terjadi. Namun,
santri juga mesti berhati – hati, jangan sampai misi perdamaian yang harus
ditebarkan justru menjadikannya sebagai alat untuk membenarkan semua pemikiran
yang telah nyata kesesatannya.
“Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat
siapa yang mengatakan”
Ungkapan ulama di atas sangat membekas di hati
para santri. Tujuannya adalah supaya jangan sampai kita memandang sebelah mata
kalimat mutiara yang datang dari mulut siapapun. Sekalipun datang dari mulut preman,
asalkan bermuatan iman, tak akan jadi masalah. Tentu saja ini bukan sesuatu
yang salah. Namun, kerap kali kalimat tersebut justru dijadikan tameng untuk
berpenampilan “gaya – gayaan” yang menurutnya harus mengikuti trend masa
kini. Bagaimana hubungannya? Ungkapan di atas ditafsirkan bahwa pakaian
bukanlah menjadi rujukan utama seseorang itu patut kita dengarkan atau
tidaknya. Banyak orang yang berpakaian bak ulama tetapi kalimat yang keluar
dari mulutnya berbau busuk, bahkan tak jarang berakhlak bejat. Disisi lain, tak
sedikit orang yang berpenampilan bak preman, tetapi kalimat yang keluar dari
lisannya adalah kalimat mutiara iman. Tak jarang sikap yang ditunjukkan adalah
seperti seorang kesatria. Ini adalah fakta yang kemudian dijadikan tameng untuk
berbusana bebas. Nah, disinilah letak kesalahan fatalnya. Cara berpakaian
bukanlah penyesuaian antara pemikiran dan perilaku. Pakaian itu menunjukkan
identitas. Rasulullah SAW telah mengajarkan ummat islam tentang bagaimana cara
berpakaian yang sesuai dengan syariat islam bagi laki – laki dan perempuan. Sedikitnya
harus memuat dua hal. Pertama, tidak menampakkan aurat. Kedua,
tidak melakukan Tasyabbuh’alal kuffar. Maka ketika masyarakat risih dengan
sekelompok anak – anak muda berpakaian bak preman gaul, kemudian ceramah
agama di teras – teras warung, bukan masalah ceramahnya, tetapi lebih karena
tasyabbuh ‘ala kuffar. “Ah yang
penting kan hati kita baik” Begitulah dalil mereka. Akhirnya banyak para
santri yang ketika keluar dari pondok pesantren, tidak lagi mengenakan peci.
Rambutnya pun warna – warni. Yang santriwati tak lagi mengenakan jilbab dengan
alasan yang penting tidak maksiat. Ada yang masih mengenakan jilbab, tapi
pakaian dan celananya memperlihatkan lekuk tubuhnya. Fenomena salah kaprah ini
tentu harus diluruskan. Sebab, pakaian adalah menunjukkan identitas. Kenapa
mesti islami? Karena dengan islami orang akan mengetahui bahwa ternyata islam
juga mengatur cara berpakaian yang baik. Tentu standarnya adalah menutup aurat
dan tidak melakukan tasyabbuh ‘ala kuffar (menyerupai orang – orang kafir).
Bila menganggap diri santri, tetapi rambut disemir warna – warni, itu bukanlah
identitas santri. Justru mengarah kepada tasyabbuh ‘alal kuffar.
Ada ungkapan sesat yang berkembang diantara para
pemuda durjana. “Muda foya – foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Ini
jelas sesat. Kehidupan pada masa muda adalah kehidupan yang menentukan di masa
tua. Sebagai seorang santri masa muda harus digunakan untuk menata diri, supaya
memperoleh kehidupan yang mulia. Ciri utama seorang santri adalah dia memiliki
akhlak karimah. Sebab, selama pendidikan di pondok pesantren ia telah dibina
untuk terbiasa dengan hidup sederhana, berbagi, dan menjaga ke-waro’-an
diri. Inilah yang membedakan santri di pondok pesantren dengan para pelajar
yang di luar ponpes. Ketika pemerintah masih merancang bagaimana cara membentuk
siswa yang berkarakter, para ulama telah banyak mencetak para santri yang tidak
hanya berkarakter, tetapi juga berkakhlak mulia. Maka sebagai santri, wajib
memiliki akhlak karimah. Mengapa islam dapat diterima di tengah kaum jahiliyah
yang terkenal bejat, kejam, rakus, suka membunuh, dan menghalalkan riba, maka
jawabannya jelas karena Rasulullah mendidik dengan akhlakul karimah. Mengapa
islam dapat diterima di seluruh penjuru dunia, padahal ketika itu perang adalah
satu – satunya jalan untuk menunjukkan betapa besarnya kekuatan suatu negara,
hal ini karena para pemimpin islam pada waktu itu memiliki akhlakul karimah.
Mengapa islam dapat diterima dengan mudah di kepulauan Indonesia yang notabene dikuasai
oleh kerajaan Hindu Budha, dan pemikiran – pemikiran sesat masih mengapit
bangsa waktu itu, jelas ini karena para pemimpin islam memiliki akhlakul
karimah. Mengapa pada akhirnya, para penjajah berhasil terusir di negeri
Indonesia, padahal kelengkapan untuk berperang pun tak punya. Tepat sekali. Ini
karena para ulama bersama para santri berangkat dengan niat menegakkan nilai –
nilai islam dalam bingkai akhlakul karimah. Sehingga tercetuslah resolusi jihad
yang membuat para penjajah ketar ketir. Bagaimana dengan sekarang ? Para santri
perlu mengangkat tangan untuk membuat karya besar. Mengarahkan segala kemampuan
untuk membuat perubahan dalam tatanan kehidupan yang semakin menyedihkan ini. Bila
bercita – cita menjadi pemimpin ummat, maka jadilah pemimpin yang berakhlak
mulia. Bila ingin menjadi pengusaha, maka jadilah pengusaha yang berakhlak
mulia. Ingin menjadi guru, maka jadilah guru yang berakhlak mulia. Dibelahan
bumi sana, ada pemimpin kafir yang menghina Al-Qur’an secara terang – terangan.
Didukung oleh para intelektual liberal dengan dalih, ”pemimpin kafir yang
pintar, lebih baik daripada pemimpin muslim yang bodoh”. Mengapa kejadian
dan teori ini akhirnya berkembang, tak lain karena disebabkan para pemimpin –
pemimpin sebelumnya tidak mencerminkan akhlak yang mulia. Akibatnya, dengan
mudah mereka melakukan korupsi, penyuapan, penyalahgunaan wewenang demi
memuaskan hawa nafsu. Maka membangun segala sesuatu atas dasar akhlak karimah
adalah begitu penting. Santri yang hebat adalah santri yang menjadikan akhlak
karimah sebagai asas dalam membangun tatanan masyarakat. Sehingga ketika mereka
telah kembali di kampung halaman, masyarakat akan merasa aman dan terbangun
jiwa islaminya.